Selasa, 13 Maret 2012

4 senjata tradisional di seliruh dunia

Pedang
  


 Meski begitu terdapat pedang dari emas yang digunakan sebagai hiasan saja.
 Untuk latihan biasanya pedang kayu yang digunakan, meski pedang dari kayu keras 
masih berbahaya. Senjata serupa pedang dan tombak yang menggunakan bilah obsidian 
digunakan oleh suku-suku asli amerika tengah dan selatan yang pada saat kolonisasi Eropa
 belum mengenal logam.


Zaman Perunggu

Manusia telah membuat dan menggunakan senjata berpedang dari mulai zaman perunggu. 
Pedang yang dikembangkan dari belati ketika pembuatan pedang menjadi mungkin, 
sekitar 2 milenium sebelum masehi. Pedang berukuran lebih dari 1,5 meter dan sangat 
tidak biasa dan tidak digunakkan saat masa-masa zaman perunggu karena panjangnya 
mengurangi keampuhan dari perunggu. Tidak sampai logam yang lebih kuat seperti baja, 
menjadikan pedang panjang digunakan dalam pertempuran. khopes yang hanya berukuran 
50 s/d 60cm terbuat dari perunggu juga.
Bagian gagang pedang pada mulanya memungkinkan cengkraman yang kuat, dan mencegah
 kemungkinan tangan terpeleset ketika melakukan tusukan kearah target. 
Pedang zaman perunggu pertama kali muncul dengan bentuk seperti daun di sekitar laut tengah
 dan laut hitam, dan di Mesoppotamia. Pedang dari zaman perunggu nordic sekitar 1400 SM 
menunjukkan karakteristik polaspiral. Produksi pedang di china dimulai dari zaman Dinasti 
Shang.


Pedang besi mengalami kenaikan penggunaan pada abad 13 SM.
 Bangsa Hittie, Myceania, Yunani, dan Proto-Celtic Halstatt memiliki kebudayaan yang 
memiliki kaitan dengan penggunaan awal pedang besi. Besi memiliki kelebihan dalam 
produksi massal dengan ketersediaan bajan baku yang banyak.
 Pedang besi pada masa awal tidak bisa dibandingkan dengan pedang baja masa sekarang; 
lebih lunak dan rapuh, ini bahkan lebih jelek daripada pedang perunggu yang bgus kualitasnya,
 tetapi dengan produksi yang lebih mudah, ketersediaan bahan baku membuat seluruh pasukan
 dapat menggunakan senjata logam, walaupun pasukan mesir pada zaman perunggu sudah
 melengkapi pasukkannya dengan senjata perunggu.
Kemudian para penempa mempelajari bahwa menambahkan sejumlah karbon 
( dimasukkan pada saat peleburan dalam bentuk bebatuan ) kedalam besi, 
mereka dapat membuat logam yang lebih baik ( sekarang dikenal dengan sebutan "besi baja" ).
 Beberapa metode yang berbeda dalam pembuatan pedang telah ada dalam masa lalu, 
termasuk, yang paling terkenal, pembentukan pola. Selanjutnya, metode yang berbeda 
berkembang di seluruh dunia.
Ketika memasuki zaman klasik antik dan bangsa Parthia dan Sassanid di Iran, 
pedang besi sudah menjadi umum. Xiphos dari yunani dan Gladius dari Romawi adalah
 contoh sejenis, memiliki panjang 60-70 cm. Kekaisaran Roma akhir memprkenalkan 
Spatha yang lebih panjang ( istilah untuk pemakainya, spatharius, menjadi pangkat 
kerajaan di Konstantinopel ), dan mulai saat itu, istilah "pedang panjang" dialamatkan
 pada pedang yang termasuk panjang dalam periode ini.
Pedang baja China muncul pada masa abad ke 3 SM Dinasti Qin.
 Dao dari china ( piyin dāo )adalah pedang bermata satu, kadang-kadang diterjemahkan 
sebagai sabre atau broadsword, dan Jian ( piyin jiān ) bermata dua.


Zaman Pertengahan

Pedang spatha menjadi populer selama periode migrasi dan juga di abad pertengahan. 
Spatha Zaman Vendel didekorasi dengan hiasan Jerman. Zaman Viking terlihat kembali
 adanya produksi yang lebih terstandarisasi, tapi desain awalnya tetap berdasarkan spatha.
Abad ke 11 dimana pedang Norman mulai dikembangkan Quillons atau Crossguard
 ( pelindung silang ). Selama perang salib pada abad ke 12 sampai abad ke 13, peding
 berbentuk salib ini menjadi lebih stabil, dengan variasi pada gagangnya saja. 
Pedang-pedang ini didesain sebagai pedang pemotong, walaupun poin-poin efektif menjadi
 umum untuk meng-counter peningkatan kualitas zirah. Pedang bermata tunggal menjadi 
populer di dataran Asia. Dikembangkan dari Dao China, hwandudaedo dari korea telah
 dikenal pada masa awal Zaman Tiga NegaraKatana Jepang ( 刀; かたな ), telah diproduksi
 dari masa sekitar 900 masehi, juga dikembangkan dari dao.


Zaman Pertengahan Akhir dan Renaissance

Dari sekitar tahun 1300, dengan semakin tebal dan bagus produksi zirah, desain pedang 
terus berevolusi dengan cepat. Transisi utamanya ialah perpanjangan gagang pedang, 
memungkinkan penggunaan dua tangan, dan mata pedang yang lebih panjang.
 Pada tahun 1400 pedang seperti ini dinamai dengan Langes Schwert ( longsword )
 atau pedang panjang atau spadone, telah umum, dan beberapa Fechtbucher pada abad
 15 dan 16 menawarkan bagaimana menggunakan pedang tersebut. Varian lain adalah
 pedang penusuk zirah dengan tipe estoc. Pedang panjang terkenal dengan jangkauan ekstrem
 dan kemuampuan memotong serta menusuknya. Tipe estoc menjadi terkenal karena 
kemampuannya untuk menembus gap antara pelat zirah. Pegangannya kadang-kadang
 dilapisi dengan kabel atau kulit binatang untuk membuat pegangan yang lebih mantap dan 
membuatnya lebih sulit dijatuhkan dari si pengguna pedang.
Pada abad ke 16, Doppelhander ( disebut Zweihander sekarang ) membuat tren peningkatan 
ukuran dari pedang, dan zaman modern kembali kepada desain pedang yang ringkas dan 
ringan dengan penggunaan satu tangan.
Pedang di zaman ini menjadi senjata paling personal, paling prestisius, dan paling mematikan
 untuk pertempuran jarak dekat, tetapi ditolak dalam penggunaannya oleh militer karena
 pergantian teknologi peperangan. Bagaimanapun, pedang tetap menjadi peran kunci dalam
 beladiri sipil.


Zaman Modern

Rapier merupakan evolusi dari espada ropera dari Spanyol sekitar abad ke i6.
 Baik rapier maupun schiavona dari italia mengubah bentuk crossguard menjadi 
seperti keranjang untuk perlindungan bagian tangan. Selama abad ke 17 dan 18, pedang 
pendek yang lebih ringan menjadi bagian esensial dari fashion di negara-negara eropa
 dan dunia baru, dan orang terkaya dan pejabat militer memilikinya. Baik pedang pendek 
maupun Rapier menjadi populer sebagai pedang eropa untuk berduel hingga abad ke 18.
Setelah pemakaian pedang ketinggalan zaman, tongkat bantu berjalan ( cane ) menjadi
 bagian dari pakaian gentelman. Beberapa contohnya ialah pedang tongkat yang memasukkan
 mata pedang kedalam tongkat untuk menyamarkannya. beladiri la canne dikembangkan 
untuk bertarung menggunakan tongkat ini dan sekarang berevolusi menjadi olahraga.
Setelah masa penggunaanya telah usai, pedang telah menjadi alat pertahanan diri 
dibandingkan menjadi perangkat persenjataan di medan perang setelah zaman modern.
 Bahkan sebilah pedang telah berkurang penggunaanya setelah abad 19, karena kalah
 praktis dengan handgun(pistol).
Pedang masih digunakan, namun hanya sebatas pada pejabat militer dan seragam 
upacara kemiliteran saja, walaupun kebanyakan tentara menggunakan kavaleri berat sebelum
 PD II. Seperti kavaleri inggris yang sudah mendesain unit pedang kavaleri baru, tetapi
diganti menjadi kavaleri lapis baja pada masa akhir 1938. Tetapi peperangan menggunakan
 kavaleri dan pedang masih terjadi di era PD II, ketika tentara Jepang bertempur melawan
 penduduk pasifik, para penduduk itu masih menggunakan pedang. Tetapi pasukan jepang 
dengan senjata modern dengan mudah menundukkan para prajurit berpedang itu.


Bagian-Bagian Pedang


Bilah

Bilah pedang adalah bagian penting pedang yang dapat digunakan untuk menyerang. 
Jenis serangan yang bisa dilakukan dengan bilah itu sendiri, menghantamkannya, 
menusuk, dan menebas. Oleh karena masing-masing jenis serangan tersebut mensyaratkan
 bentuk yang berbeda untuk hasil optimal maka bentuk bilah pedang bergantung pada gaya
 penggunaannya.


Gagang

Gagang pedang adalah bagian untuk memegang pedang. Pada beberapa jenis pedang 
gagangnya memiliki penahan di atas dan di bagian bawahnya, penahan bagian atas biasanya 
untuk menahan tangan ketika melakukan serangan.


Jenis-Jenis Pedang


Pedang Bermata Ganda

Peadang bermata ganda banyak digunakan di TiongkokMediterania, dan Skandinavia. Pedang jenis ini memiliki kemampuan sama baiknya untuk menebas dan menusuk. Berikut daftar nama-nama pedang bermata ganda:


Pedang Bermata Tunggal

Pedang bermata tunggal biasanya adalah pedang yang dimaksimalkan untuk fungsi tebasan. 
Oleh karenanya Xenophon (Prajurit dan sejarawan Yunani kuno) menyarankan kavaleri untuk
 menggunakan peadang jenis ini (Makhaira) dibandingkan Xiphos.
Pedang bermata tunggal biasanya mempunyai lengkungan, biasanya ke belakang(sisi tajam
 berada di luar lengkungan), walau ada yang lurus atau memiliki lengkungan ke depan
(sisi tajam berada di dalam lengkungan). Kegunaan lengkungan adalah untuk memperlebar
 lukaan akibat tebasan. Berikut nama-nama pedang bermata tunggal:


Pedang Satu Tangan


Pedang Dua Tangan

 

Tombak



Tombak dan pisau batu yang ditemukan di Taman Nasional Mesa Verde, Amerika Serikat.
Tombak atau lembing adalah senjata yang banyak ditemukan di seluruh peradaban dunia,
 terutama karena kemudahan pembuatannya dan biaya pembuatannya yang murah. 
Tombak adalah senjata untuk berburu dan berperang, bagiannya terdiri dari tongkat sebagai 
pegangan dan mata atau kepala tombak yang tajam dan kadang diperkeras dengan bahan lain.
 Bersamaan dengan kapak tombak adalah perkakas pertama yang dibuat manusia dan sejalan 
dengan perkembangan peradaban mata tombak dan kapak yang semula berupa tulang atau
 batu yang dihaluskan diganti menjadi logam yang lebih kuat dan tahan lama.
Di Indonesia tombak menjadi senjata utama yang banyak digunakan oleh tentara-tentara 
tradisional nusantara. Ini terutama karena kelangkaan besi dan logam lainnya di Indonesia 
sehingga sulit untuk membuat pedang. Oleh karena itu senjata yang lebih umum digunakan di
 Indonesia atau bangsa-bangsa melayu dulu adalah senjata yang menggunakan lebih sedikit
 besi dibanding pedang yaitu kapak, parang atau golok, dan tombak. Di antara senjata-senjata
 tadi yang hanya tombak yang digunakan hanya sebagai senjata(termasuk sebagai senjata 
berburu).
Terdapat sejenis tombak tanpa mata yang sering digunakan oleh milisia di nusantara yaitu
bambu runcing yang dibuat dari bambu yang diruncingkan tanpa perkuatan apapun di ujungnya.
 Untuk menghadapi tentara tradisonal nusantara dan tentara kolonial ini adalah senjata penusuk
 yang mematikan sebab mereka tidak dilengkapi dengan perlindungan baju zirah.

Daftar isi

sunting Sejarah

Penggunaan tombak tidak terbatas pada spesies manusia saja, simpanse dan orangutan 
adalah spesies kera besar yang tercatat menggunakan alat serupa tombak untuk berburu 
makanan. Tombak dibuat sejak zaman purba sebagai alat untuk membantu manusia dalam 
perburuan. Penggunaan tombak oleh simpanse menunjukkan kemungkinan bahwa manusia 
purba membuat tombak seawal-awalnya sekitar 5 juta tahun lalu. Sejak 400.000 tahun lalu 
 Neanderthal sudah membuat tombak bermata batu sedangkan sejak 200.000 tahun lalu
 manusia menggunakan mata tombak dari batu yang diasah.

[sunting] Tombak/Lembing yang Tidak Dilempar

Dalam penggunaannya tombak dapat digunakan oleh pasukan berkuda(kavaleri) atau pasukan
 jalan kaki (infantri). Tombak yang digunakan kavaleri dalam bahasa Inggris biasa disebut
  lance sedangkan tombak panjang infantri pada zaman pertengahan biasa disebut pike
Terdapat sejenis senjata Eropa yang terlihat seperti campuran antara tombak dan kapak yang 
disebut halberd.

sunting Nama-Nama Tombak/Lembing yang Tidak Dilempar

Berikut adalah daftar nama-nama tombak(belum diterjemahkan) di penjuru dunia:

sunting Tombak/Lembing yang Dilempar

Tombak/lembing yang dilempar memiliki persamaan bentuk dengan tombak yang tidak 
dilempar, tetapi perbedaannya adalah cara penggunaannya yaitu dengan melemparkannya. 
Oleh karena itu, lembing biasanya lebih ringan atau setidaknya lebih ringan daripada tombak.
 Saat ini terdapat olahraga dunia yang berbasis penggunaan lembing yaitu lempar lembing 
(javelin throwing).

sunting Nama-nama Tombak/Lembing yang Dilempar

Berikut nama-nama tombak yang biasanya dilempar dalam penggunaannya:
  • Angon
  • Assegai
  • Ballam
  • Bandang
  • Bhala
  • Bilari
  • Budiak
  • Cateia
  • Chimbane
  • Contus
  • Do-War
  • Egchos
  • Enhero
  • Fal-feg
  • Falarica
  • Framea
  • Gravo
  • Golo
  • Granggang
  • Hak
  • Harpun
  • Hinyan
  • Hoko
  • Huata
  • Irpull
  • Ja-Mandehi
  • Jaculum
  • Jarid
  • Lembing
  • Jiboru
  • Kasita
  • Kamayari
  • Kan-Shoka
  • Kannai
  • Kapun
  • Kiero
  • Kikuki
  • Koveh
  • Koy-yung
  • Koyuan
  • Kujolio
  • Kuyan
  • Laange
  • Lance-Ague
  • Lama-pe
  • Mandehi liguje
  • Mahee
  • Makrigga
  • Makura Yari
  • Mkukt
  • Mongile
  • Mongoli
  • Mu-Rongal
  • Nage-Yari
  • Nandum
  • Nerau
  • Paralyser
  • Patisthanaya
  • Pelta
  • Pill
  • Pillara
  • Pilum
  • Plumbatae
  • Sang
  • Sangkoh
  • Sanokat
  • Saunion
  • Shail
  • Shanen kopaton
  • Siligis
  • Tombak pendek (atau tombak biasa)
  • Simbilan
  • Sinan
  • Sligi
  • Soliferrum
  • Spiculum
  • Su Yari
  • Sudanese lance
  • Tahr Ruan
  • Tao
  • Tawok
  • Telempang
  • Tepoztopilli
  • Te yari
  • Tirrer
  • Tjunkuletti
  • Tombak
  • Tschehouta
  • Tumpuling
  • Wainian
  • Wallunka
  • Wi-Valli
  • Zagaye
     

 

Samurai


Seorang samurai dengan pakaian tempur, 1860.

Samurai (侍 atau 士?) adalah istilah untuk perwira militer 
kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata 
"samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa 
Jepang kuno, berubah menjadi "saburau" yang berarti 
"melayani", dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja
 sebagai pelayan bagi sang majikan.
Istilah yang lebih tepat adalah bushi (武士) (harafiah:
 "orang bersenjata") yang digunakan semasa zaman Edo.
Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit
 dari kalangan bangsawan, dan bukan contohnya, 
ashigaru atau tentara berjalan kaki. Samurai yang tidak
 terikat dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo
disebut ronin (harafiah: "orang ombak"). Samurai yang 
bertugas di wilayah han disebut hanshi.
Samurai harus sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur 
 kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya
 adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat.
 Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda 
dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, 
sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat 
Jepang masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.


Perkataan samurai berasal pada sebelum zaman Heian di Jepang di mana bila seseorang 
disebut sebagai saburai, itu berarti dia adalah seorang suruhan atau pengikut.
 Hanya pada awal zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal 
periode/era Edo pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 perkataan saburai bertukar
 diganti dengan perkataan samurai. Bagaimanapun, pada masa itu, artinya telah lama berubah.
Pada era pemerintahan samurai, istilah awal yumitori (“pemanah”) juga digunakan sebagai 
gelar kehormat bagi sejumlah kecil panglima perang, walaupun pemain pedang telah menjadi
 lebih penting. Pemanah Jepang (kyujutsu), masih berkaitan erat dengan dewa perang 
Hachiman.
Berikut adalah beberapa istilah lain samurai.
  • Buke (武家) – Ahli bela diri
  • Kabukimono - Perkataan dari kabuku atau condong, ia merujuk kepada gaya samurai berwarna-warni.
  • Mononofu (もののふ) - Istilah silam yang berarti panglima.
  • Musha (武者) - Bentuk ringkasan Bugeisha (武芸者), harafiah. pakar bela diri.
  • Si (士) - Huruf kanji pengganti samurai.
  • Tsuwamono (兵) - Istilah silam bagi tentara yang ditonjolkan oleh Matsuo Basho dalam haiku terkemukanya. 


Samurai menggunakan beberapa macam jenis senjata, tetapi katana adalah senjata yang 
identik dengan keberadaan mereka, Dalam Bushido diajarkan bahwa katana adalah roh dari
 samurai dan kadang-kadang digambarkan bahwa seorang samurai sangat tergantung pada 
katana dalam pertempuran. Mereka percaya bahwa katana sangat penting dalam memberi 
kehormatan dan bagian dalam kehidupan. Sebutan untuk katana tidak dikenal sampai massa 
Kamakura (1185–1333), sebelum masa itu pedang Jepang lebih dikenal sebagai tachi dan
 uchigatana, Dan katana sendiri bukan menjadi senjata utama sampai massa Edo.
Apabila seorang anak mancapai usia tiga belas tahun, ada upacara yang dikenali sebagai
 Genpuku. Anak laki-laki yang menjalani genpuku mendapat sebuah wakizashi dan nama 
dewasa untuk menjadi samurai secara resmi. Ini dapat diartikan dia diberi hak untuk mengenal
 katana walaupun biasanya diikat dengan benang untuk menghindari katana terhunus dengan 
tidak sengaja. Pasangankatana dan wakizashi dikenali sebagai Daisho, yang berarti besar dan 
kecil.
Senjata samurai yang lain adalah yumi atau busur komposit dan dipakai selama beberapa abad
 sampai masa masuknya senapan pada abad ke-16. Busur komposit model Jepang adalah
 senjata yang bagus. Bentuknya memungkinkan untuk digunakan berbagai jenis anak panah, 
seperti panah berapi dan panah isyarat yang dapat menjangkau sasaran pada jarak lebih dari
 100 meter, bahkan bisa lebih dari 200 meter bila ketepatan tidak lagi diperhitungkan,
 Senjata ini biasanya digunakan dengan cara berdiri di belakang Tedate (手 盾) yaitu perisai 
kayu yang besar, tetapi bisa juga digunakan dengan menunggang kuda. Latihan memanah 
di belakang kuda menjadi adat istiadat Shinto, Yabusame (流鏑馬). Dalam pertempuran 
melawan penjajah Mongol, busur komposit menjadi senjata penentu kemenangan, Pasukan
 Mongol dan Cina pada waktu itu memakai busur komposit dengan ukuran yang lebih kecil, 
apalagi dengan keterbatasannya dalam pemakaian pasukan berkuda.

Badik



Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas
 yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan
 Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda, 
dengan panjang mencapai sekitar setengah meter.
 Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya 
kerap kali dihiasi dengan pamor.
 Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
Masyarakat Bugis
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). 
Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya. 
Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan,
 kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan
 bagi yang menyimpannya.
Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai senjata untuk membela 
diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok etnis atau kebudayaan. 
Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis 
dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.
Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai
 pelengkap adalah warangka atau sarung badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang 
dipercaya dapat memengaruhi kehidupan pemiliknya.
Badik Makassar
Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta 
cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari.
 Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan
 banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan
 kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Bugis Luwu
Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak
 melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. 
Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). 
Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, baik 
itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan.
Kawali Lamalomo Sugi adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan 
dipercaya sebagai senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, 
kawali Lataring Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya 
akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan 
tidak akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi 
mereka yang berusaha di sektor pertanian.
Kul Buntet / Pusaran
Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan kecil pada bagian pangkal dan guratan 
berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang melimpah
 bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki
 motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang memiliki
 motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik badik
 tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya
 bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan kesabaran,
 maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.
Kawali Ilakkoajang adalah jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu 
mendatangkan wibawa serta derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh 
tubuhnya. Sementara itu, bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan 
hendaknya memiliki Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval 
pada bagian ujungnya ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi 
pemiliknya dalam setiap pertempuran.
Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun sebaliknya 
terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik yang 
dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat
 tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya. Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar oleh orang lain.
Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng Tappi’enngi
 yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya. Dipercaya, pemilik
 badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki kepercayaan yang 
berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya pemilik badik seperti ini 
seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah sebuah
 benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi kaum lelaki.
 Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena ammallaki badik” 
(Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan kata orang Bugis 
“Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak memiliki badik).
Menurut pandangan orang Bugis Makassar, setiap jenis badik memiliki kekuatan sakti (gaib). 
Kekuatan ini dapat memengaruhi kondisi, keadaan, dan proses kehidupan pemiliknya.
 Sejalan dengan itu, terdapat kepercayaan bahwa badik juga mampu menimbulkan ketenangan, 
kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran ataupun kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan
 bagi yang menyimpannya.Sejak ratusan tahun silam, badik dipergunakan bukan hanya sebagai
 senjata untuk membela diri dan berburu tetapi juga sebagai identitas diri dari suatu kelompok
 etnis atau kebudayaan.
Badik ini tidak hanya terkenal di daerah Makassar saja, tetapi juga terdapat di daerah Bugis 
dan Mandar dengan nama dan bentuk berbeda.Secara umum badik terdiri atas tiga bagian, 
yakni hulu (gagang) dan bilah (besi), serta sebagai pelengkap adalah warangka atau sarung
 badik. Disamping itu, terdapat pula pamor yang dipercaya dapat memengaruhi kehidupan 
pemiliknya.Badik Makassar memiliki kale (bilah) yang pipih, battang (perut) buncit dan tajam
 serta cappa’ (ujung) yang runcing. Badik yang berbentuk seperti ini disebut Badik Sari. 
Badik Sari terdiri atas bagian pangulu (gagang badik), sumpa’ kale (tubuh badik) dan
banoang (sarung badik). Lain Makassar lain pula Bugis, di daerah ini badik disebut dengan 
kawali, seperti Kawali Raja (Bone) dan Kawali Rangkong (Luwu).
Badik Caringin Tilu
Badik Bugis Kawali Bone memiliki bessi atau bilah yang pipih, ujung runcing dan bentuk agak 
melebar pada bagian ujung, sedangkan kawali Luwu memiliki bessi pipih dan berbentuk lurus. 
Kawali pun memiliki bagian-bagian, seperti pangulu (hulu), bessi (bilah) dan wanua (sarung). 
Seperti pada senjata tradisional lainnya, kawali juga dipercaya memiliki kekuatan sakti, 
baik itu yang dapat membawa keberuntungan ataupun kesialan. Kawali Lamalomo Sugi 
adalah jenis badik yang mempunyai motif kaitan pada bilahnya dan dipercaya sebagai 
senjata yang akan memberikan kekayaan bagi pemiliknya. Sedangkan, kawali Lataring 
Tellu yang mempunyai motif berupa tiga noktah dalam posisi tungku dipercaya akan 
membawa keberuntungan bagi pemiliknya berupa tidak akan kekurangan makanan dan tidak
 akan mengalami duka nestapa. Itulah sebabnya, badik ini paling cocok digunakan bagi 
mereka yang berusaha di sektor pertanian.Kawali Lade’ nateyai memiliki pamor berupa bulatan
 kecil pada bagian pangkal dan guratan berjajar pada bagian matanya. Badik ini dipercaya
 dapat mendatangkan rezeki yang melimpah bagi pemiliknya. Badik ini memiliki kemiripan 
fungsi dengan Kawali Lakadang yang memiliki motif berbentuk gala pada pangkalnya.
Salah satu badik yang dipercaya sangat ideal adalah Kawali Lagemme’ Silampa yang
 memiliki motif berupa urat yang membujur dari pangkal ke ujung. Dipercaya bahwa pemilik
 badik tersebut senantiasa akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan dalam
 kehidupannya bersama dengan segenap kaum kerabatnya. Sedangkan untuk mendapatkan
 kesabaran, maka dipercaya harus memiliki Kawali Lasabbara.Kawali Ilakkoajang adalah 
jenis badik yang dipercayai sebagai senjata yang mampu mendatangkan wibawa serta
 derajat yang tinggi.Badik ini memiliki motif guratan di seluruh tubuhnya. Sementara itu, 
bagi yang menginginkan kemenangan dalam setiap pertarungan hendaknya memiliki 
Kawali Latenriwale. Badik yang memiliki motif berupa bulatan oval pada bagian ujungnya
 ini dipercaya dapat membangkitkan sifat pantang mundur bagi pemiliknya dalam setiap 
pertempuran.Bila dipercaya terdapat badik yang mengandung kebaikan, demikian pun s
ebaliknya terdapat badik yang mengandung kesialan. Kawali Lasukku Ja’na adalah badik 
yang dianggap amat buruk. Bagi siapapun, Kawali Latemmewa merupakan badik yang sangat
 tidak baik, karena dipercaya badik ini tidak dapat menjaga wibawa dan kehormatan pemiliknya.
 Menurut kepercayaan, pemilik badik ini tidak akan melakukan perlawanan kendati ditampar
 oleh orang lain.Sejalan dengan kepercayaan tersebut, terdapat Kawali Lamalomo Malaweng
Tappi’enngi yang memiliki motif berupa guratan tanda panah pada bagian pangkalnya.
 Dipercaya, pemilik badik ini seringkali terlibat dalam perbuatan zina. Badik ini memiliki
 kepercayaan yang berlawanan dengan Kawali Lamalomo Rialawengeng. Konon kabarnya 
pemilik badik seperti ini seringkali istrinya melakukan perzinahan dengan lelaki lain.
Apapun kekuatan sakti yang dipercaya dikandung oleh sebuah badik, badik tetaplah 
sebuah benda budaya yang akan meningkatkan identitas diri seseorang, terutama bagi 
kaum lelaki. Seperti kata orang Makassar mengenai badik “Teyai bura’ne punna tena
 ammallaki badik” (Bukan seorang lelaki jika tidak memiliki badik), begitupun dengan 
kata orang Bugis “Taniya ugi narekko de’na punnai kawali" (Bukan seorang Bugis jika tidak
 memiliki badik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar